Di era itu, sangat lazim apabila putra seorang
pejabat atau bangsawan mendapatkan pendidikan yang tinggi. Banyak sekali
tokoh-tokoh perjuangan yang terlahir dari para bangsawan karena privilege
khusus ini. Diantara putra-putra bangsawan yang mendapatkan privilege tersebut
ada yang memiliki visi dan misi untuk mendirikan Negara merderka, ada yang
memiliki visi misi agar pribumi sejahtera dalam kepemimpinan Belanda dan ada
pula yang pada dasarnya hanya menikmati privilege khusus tersebut untuk
kenikmatan duniawi semata.
BRM Dorodjatoen terlahir dari Sri Sultan
Hamengku Bhuwono VIII (SSHB VIII), seorang Sultan di era Pemerintahan Hindia
Belanda. Barangkali beliau adalah salah satu dari putra bangsawan yang memiliki
visi kemerdekaan, bahkan melampaui wilayah lokalitas daerahnya. Dilahirkan di
kampong Sompilan, Ngasem, Yogyakarta. Pada saat itu, Paduka SSHB VIII memiliki
pandangan yang maju untuk mencetak pangeran dan calon raja yang benar-benar
memiliki kemandirian tinggi. Adalah beliau yang mengambil kebijakan untuk
mendidik putra-putrinya agar terlepas dari kungkungan kenikmatan sebagai
putra-putri bangsawan. Dorodjatoen kecil semenjak usia kanak-kanak dipisahkan
dari lingkungan kraton untuk tinggal di rumah keluarga Belanda. Dalam prinsip
SSHB VIII, seorang Dorodjatoen dituntut untuk mengenal kehidupan keluarga
Belanda dan mengenal bangsa Belanda semenjak kecil.
Pada saat paduka SSHB VIII berkuasa, keraton
memiliki kas yang penuh untuk menyekolahkan putra-putri hingga perguruan
tinggi, termasuk BRM Dorodjatoen yang sempat mengenyam pendidikan di
Universitas Leiden. Konon katanya, besarnya kas ini karena jasa Paduka Sri
Sultan Hamengku Bhuwono VII yang pada saat itu dijuluki Sultan Sugih karena menyewakan
tanah keraton bagi investor untuk perkebunan. Konteks sejarah pada saat itu
adalah periode Politik Pintu Terbuka Belanda.
Pada saat SSHB VIII naik tahta, saat itu
Pemerintah Belanda sedang menerapkan politik etis di Hindia Belanda. Salah satu
dampak dari Politik Etis adalah banyaknya anak pribumi bangsawan yang sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar