Selasa, 06 Mei 2014

Tradisi Masa Lalu dalam Genggaman Masa Kini

Yogyakarta, sebuah blend antara tradisi dan post-modernitas. Saya menyebutkan post-modernitas dan bukannya modernitas karena Jogja era 90-an ke bawah merupakan anti-tesis dari modernitas yang terjadi di kota-kota besar. Apabila kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya menggeliat dengan hawa nafsu modernisme, Jogja tetap menunjukkan kebersahajaannya. Apabila masyarakat Jakarta dan Surabaya bergegas, bahkan tergesa-gesa, justru masyarakat Jogja masih menerapkan filosofi alon-alon waton klakon.

And then, perkembangan Jogja yang pesat justru terjadi paska gempa bumi 2006. Untuk menghilangkan citra Jogja sebagai ladang gempa, pemerintah daerah dan masyarakat mengkampanyekan Jogja aman untuk berinvestasi. Entah angin puting beliun investor darimana, di Jogja akhirnya terjadi pembangunan besar-besaran. Dibangunlah apartemen dan hotel, bahkan kontakan mewah disana sini. Meski nyaris Jogja menjadi kota yang dikhawatirkan ditinggalkan paska gempa, saat ini Jogja telah menjadi sebuah kota yang metropolis namun etnik, atau dalam kata saya kita sebut sebagai metro-etnik polis.

Berbeda dengan Jakarta dan Surabaya, banyak sekali art-gallery dan pusat-pusat kebudayaan. Meski di Jakarta dan Surabaya ada art-gallery kelas atas, namun di Jogjakarta banyak sekali art-gallery kelas menengah-kecil. Begitupula dengan ruang publik kongkow-kongkow di Jogjakarta relatif lebih banyak dibandingkan dengan kota metropolis lain. Banyak sekali cafe-cafe kelas mahasiswa dimana mahasiswa banyak berbagi dan berdiskusi. Kedai kopi "Mato" di seputaran selokan Mataram misalnya, menjadi tempat kongkow mahasiswa yang murah meriah. Hanya dengan uang kurang dari 5 ribu sudah bisa menikmati kopi-jahe. Sedangkan masih banyak lagi jajanan yang dapat dimakan sembari berdiskusi.  Ada pula di perempatan ring-road dan jalan kaliurang sebuah franchise "Kedai Kopi" yang menyajikan beberapa single-origin coffee dengan harga premium. Harga di kedai kopi level itu relatif bersahabat dibandingkan di beberapa kota besar lainnya. Mal dan hiburan malam banyak sekali didirikan sebagai tempat belanja dan tempat hiburan wisatawan di seputar Jogjakarta.

Meskipun didasarkan pada tradisi lama, geliat perkembangan Jogja sama dengan perkembangan kota lain. Perkembangan kota Jogja akhirnya meluas ke beberapa wilayah perbatasan antar kabupaten, bahkan perkembangan kabupaten itu sendiri yang jauh dari wilayah perbatasan. Dapat kita lihat betapa perkembangan Kabupaten Gunungkidul disokong oleh "kepopuleran" Jogja, menjadikan Jogja bukan sekedar kota Jogja, namun menjadikan satu propinsi sebagai suatu tujuan wisata, menyerupai Propinsi Bali.

Masa kini yang sayarat akan jargon perkembangan dan pertumbuhan, telah menjadikan Ngayogyakarta Hadiningrat mengalami sebuah dialektika sejarah, dari sekedar kota budaya, perjuangan, dan revolusi menjadi sebuah kota metropolis dengan seabreg permasalahan. Ngayogyakarta menjadikan dirinya sebagai tanah dan langit dimana berbagai tipikal manusia masuk ke Ngayogyakarta dan menyesuaikan diri dengan kultur setempat, namun tidak bisa dipungkiri, para pendatangpun mempengaruhi kultur di Ngayogyakarta.

Sinuhun X (Sri Sultan Hamengkubhuwana X) pernah mencanangkan Renaisance Jogja, namun seperti apakah yang diharapkan dari renaisance kota Jogjakarta itu ? Beginilah tradisi masa lalu dalam genggaman masa kini, Yogyakarta Metro-Etnik-Polis yang penuh dengan berbagai dinamika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar