Jumat, 09 Mei 2014

Tauladanku : Sri Sultan Hamengku Bhuwono IX (Tulisan 4)








Jumenengan Nata atau prosesi pelantikan menjadi raja terjadi pada tanggal 18 Maret 1940. Pada saat itu SSHB IX dengan penuh khidmat membacakan pidatonya yang fonumenal, karena di dalamnya ada kalimat penegasan mengenai tekad dan jatidiri beliau dalam memimpin.
Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa.
Pada saat Sekutu kalah melawan Jepang dan Jepang menguasai Hindia Belanda, pada waktu itu para bangsawan ketakutan dan mengajak SSHB IX untuk mengungsi, namun justru SSHB IX menguatarakan :
Apa pun yang terjadi, saya tidak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat, demi keselamatan keraton dan rakyat
Karena keberanian dan kecerdasan beliau dalam menghadapi Jepang yang kejam dan otoriter, maka SSHB IX kemudian memerintahkan pembangunan Selokan Mataram dengan alasan bisa membantu Perang Asia Timur Raya yang sedang dikorbankan oleh Jepang.
Setelah Jepang kalah Perang Dunia II, peran SSHB IX bukan hanya menjadi raja Mataram, ketika beliau mendeklarasikan diri
Pada saat Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran dan staff kabinet NKRI akan kembali ke Jakarta pada tahun 1949, SSHB IX menyerahkan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta yang diharapkan bisa dijadikan modal dalam membangun NKRI yang masih bayi. Pada saat upacara perpisahan dan pemberian cek itu, SSHB IX, mengakui kemiskinannya seraya mengatakan bahwa, Yogyakarta tidak mempunyai apa-apa lagi. Beliau tidak mengatakan ‘saya’ atau ‘kraton’, tapi mengatakan ‘Yogyakarta’, sebuah cerminan ‘manunggaling kawula gusthi’ (bersatunya rakyat dan raja), penghargaan stinggi-tingginya terhadap rakyat jelata yang telah ikut berjuang.

Dalam suara yang bergetar dan uraian air mata, Soekarno berpidato pendek menanggapi hal tersebut; “Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar