Kamis, 08 Mei 2014

Mengasah Mingising Budhi

Mengasah mingising budhi, atau mengasah ketajaman hati sebenarnya merupakan ajaran tasawuf untuk senantiasa laku memadukan nafsu. Dalam konsepsi tasawuf, terdapat empat nafsu, yaitu supiyah (kadonyan) yang dilambangkan dengan warna kuning, luamah (serakah) dilambangkan dengan warna hitam, mutmainah (kebaikan) dilambangkandengan  warna putih, dan amarah (kemarahan) dilambangkan dengan  warna merah. Manusia diberi keleluasaan menggunakan keempat sifat itu agar mampu bertahan dan tetap hidup sebagai insan kamil (manusia sempurna).


Memadukan nafsu ini bukan berarti mematikan nafsu kita, karena nafsu itu ada memang kehendak Illahi sebagai kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi (atau justru turun ke tempat rendah). 

Untuk memadukan nafsu tersebut, banyak sekali "model" yang digunakan. Mengapa banyak sekali model yang digunakan ? Hal itu disebabkan karena manusia dalam mengendalikan keempat nafsu tersebut memerlukan "afirmasi". Salah satu model afirmasi yang digunakan adalah "model" sedulur papat kalimo pancer atau saudara empat (nafsu) dan diri kita sendiri. Dalam beberapa metode tasawuf ordo tertentu, menggunakan permisalan-permisalan afirmasi berbagai macam. Namun demikian laku spiritual seperti ini memerlukan guru/pembimbing tahap awal untuk mengetahui daya pembeda dan keliaran "alam qomayah". Alam qomayah merupakan alam bayang-bayang yang sering dialami oleh para pejalan. Tanpa pembimbing pada tahap awal dan disiplin dalam memadukan nafsu, maka akan terjadi chaos dalam diri (pancer) seseorang.

Melihat dari visi dan misi Ngayogyakarta Hadiningrat, maka sebenarnya Jogja dirancang sebagai suatu masyarakat yang sadar diri dalam kehidupan ini, untuk kemudian memasuh malaning bhumi dan memayu hayuning bhawana.

Dalam tradisi Jawa, laku mengekang nafsu bertujuan untuk salah satu dari tiga hal, yaitu :

  • nggayuh kasantikan (mencari kesaktian)
  • mapak tumuring wahyu (mencari wahyu)
  • merdi alusing budi lan lantiping panggraita (mencapai kehalusan budi pekerti dan ketajaman pikiran)
Memasuh malaning bhumi dan Memayu Hayuning Bhawana tidak ada artinya apabila tidak terdapat pemaduan nafsu. Oleh karena itu, jaman dahulu calon raja menjalani proses ritual spiritual. Barangkali, hegemoni pemerintah Hindia Belanda di kraton-lah yang menyebabkan hedonik-nya lingkungan kraton. Hal ini menyebabkan banyak sekali Pangeran yang masih memegang teguh "paugeran" pergi dan mendirikan pesantren di pegunungan/pedesaan.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar