Selasa, 06 Mei 2014

Djoglo Djogdja : bukan sekedar blog tentang Jogja dan Jawa

Banyak sekali blog maupun website mengenai Jawa, khususnya mengenai ikon budaya Jawa yang masih eksis hingga sekarang, yaitu Surakarta dan Jogjakarta. Masih sedikit yang membahas mengenai Renaisance Jawa dalam konteks masyarakat post-modern. Terus terang saja, ketika kita membicarakan tradisi masa lalu, kita melupakan bagaimana pola fikir dan tindak kita terbentuk berangkat dari tradisi yang ada dalam konteks ke-kinian. Ajaran leluhur kita sangat adiluhung jaman dahulu, namun demikian mengapa ajaran yang adiluhung ini hanya sebatas "jagoan kandang" ? 

Sejak era Mataram dibagi menjadi 2, yaitu Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, peran VOC dalam percaturan politik bangsa (baca : Jawa) semakin besar. Setelah VOC dibubarkan dan Kerajaan Belanda membentuk pemerintahan Hindia Belanda untuk mengurusi beberapa wilayah di Nusantara, budaya nusantara yang terbagi menjadi beberapa sub-budaya ter-intervensi dengan kekuasaan Hindia Belanda. 

Seorang ahli kebudayaan Jawa, Dr Purwadi dalam salah satu bukunya mengatakan bahwa budaya Jawa di era hegemoni Hindia Belanda ibarat dalam sangkar emas. Dengan lain kata, filosofi yang adiluhung ini banyak sekali yang tinggi dalam bahasa, namun sering sekali miskin dalam interaksi antar pelaku dalam kraton. 

Blog Djoglo Djogja ini mencoba untuk mengajak kembali masyarakat kita yang mengalami krisis jati diri, antara globalitas dan lokalitas, antara agama dan budaya serta berbagai macam kompleksitas yang lahir dari kebudayaan ini.

Kita sangat berharap pada Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai "punjering jagad Jawa" untuk melakukan renaisance budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sebuah pencerahan yang mutlak diperlukan. Nah, apakah itu akan terjadi di kota metropolis-etnis ini ? Ataukah Jogja hanya akan menjadi artefak masa lalu, yang indah dalam memori namun jauh dari aktualitas pencerahan. Yang kita lihat sekarang di Jogja adalah kemajuan positif berupa renaisance dan kemunduran negatif berupa ekses-ekses dari pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun, perkembangan peradaban tidak bisa lepas dari pertumbuhan ekonomi. Namun, perkembangan ekonomi secara akseleratif-cepat bisa menimbulkan ketimpangan. Apakah keseimbangan Jogja yang dahulu kala bisa dibanggakan akan selalu menyertai Jogja ? ataukah Jogja hanya akan menjadi ikon artefak masa lalu ?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar