Kamis, 08 Mei 2014

Memasuh Malaning Bhumi

Ketika kita mendengar kalimat Memasuh Malaning Bhumi barangkali hanya orang Jogja aseli yang bisa mengartikannya. Orang Jogja asli-pun hanya terbatas pada kalangan pecinta sastra atau kalangan sepuh yang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun.

Dalam bahasa trend sekarang, memasuh malaning bhumi bisa sejajar dengan "nahi munkar" atau mencegah kemungkaran. Namun pembahasaan memasuh malaning bhumi lebih halus dan menunjuk pada asas keseimbangan dan kesetimbangan yang terjadi dalam masyarakat berupa tingkah laku atau tindakan yang mengotori suatu masayarakat. Dalam hal ini bisa dijabarkan sebagai penyakit masyarakat. 

Namun konteks waktu memasuh malaning bhumi ini berada pada abad ke-18 dimana masyarakat masih memiliki kontrol sosial yang tinggi. Sesuatu hal yang jaman sekarang dianggap bukan penyakit masyarakat, jaman dahulu barangkali sudah menjadi penyakit masyarakat yang akut. 

Barangkali, masyarakat Jogja perlu memperhatikan aspek penyakit masyarakat ini. Hal ini disebabkan karena Jogjakarta dewasa ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang sungguh pesat dalam ranah wilayah maupun dalam kerangka global, Jogjakarta telah menjadi sebuah propinsi global sebagamana Bali.

Pada jaman apapun, sebuah masyarakat akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan jaman. Namun, hal ini tergantung pada ke arah mana perubahan itu terjadi. Apakah Memasuh Malaning Bhumi rakyat Jogjakarta telah mengalami penurunan, ataukah penyakit-penyakit sosial yang muncul kemudian setelah metropolisasi Jogja diakibatkan oleh para pendatang.

Hendaknya ke-ISTIMEWAAN Ngayogyakarta Hadiningrat memperhatikan aspek Memasuh Malaning Bhumi bersamaan dengan Hamemayu Hayuning Bhawana. Sebuah Renaisance tidak berasal dari proses a-historis, namun melalui proses "pencarian jati diri" pada setiap tahapan proses dinamikan perubahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar