Saya bukanlah ahli ilmu sosial yang bisa melihat fenomena sosial dengan berbagai kacamata. Namun dari dolan-dolan mengunjungi rumah-rumah jaman dahulu di pedesaan maupun perkotaan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, nampaklah bahwa dalam kurun waktu 100 tahun terjadi perubahan yang pesat.
Barangkali hal ini terjadi di semua daerah di wilayah Indonesia, namun dengan melihat perubahan transisi dari feodalisme kepada modernisme dan kemudian kepada sebuah masyarakat yang memiliki wawasan global barangkali waktu 100 tahun adalah saat yang singkat.
Bayangkan saja, dalam kurun waktu 1755 saat perjanjian Giyanti ke 1855 barangkali rakyat grass-root kita tidak memiliki awareness terhadap kondisi di luar desa mereka. Barangkali para kawulo alit tidak peduli siapa yang menjadi raja asalkan raja bisa mengayomi. Pun rakyat hanya bisa pasrah tatkala VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan pejabat-pejabat desa di Jawa untuk diperas tenaganya, karena rakyat-pun hanyalah hamba dari sebuah konstruk sosial yang disebut dengan monarki.
Kesadaran akan kelaliman Belanda dalam mengobrak-abrik tatatanan-pun banyak dilakukan oleh para pangeran yang pada saat-saat itu memiliki "divine rights" dalam mengelola tanah. Kemudian pada saat Pemerintah Hindia Belanda melakukan Politik Pintu Terbuka dan memperbolehkan investor masuk, rakyat jelata pun hanya menjadi obyek penderita dan tidak memiliki akses pada pengetahuan dan informasi dari luar. Pihak yang bisa memiliki akses pada pengetahuan dan informasi "hanyalah" para bangsawan yang kemudian diperbolehkan mengenyam pendidikan di era Politik Etis.
Apabila dipelajari secara singkat, pergerakan paska Politik Etis pun memiliki dua mainstream, yaitu (1) mainstream yang menuntut kemerdekaan Indonesia dan (2) mainstream yang menuntut kesejahteraan dan persamaan hak dalam kerangka Pemerintah Hindia Belanda. Namun, mau tidak mau memang harus diakui bahwa pergerakan kedua mainstream tetaplah menjadi "monopoli" dari putra pribumi kelas atas. Hanya saja perspektif dalam melihat apa itu persamaan hak pribumi-Eropa harus diperoleh melalui kemerdekaan sebuah nation state atau tidak sangat tergantung pada subyektivitas individu.
Memang, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun telah terjadi perubahan yang sangat cepat. Dari era feodalisme sampai modernisme. Somehow, masa "kolonialisme" ini masuk diantara fase perkembangan dari feodalisme ke modernisme. Lalu bagaimanakah jejaring sosial saat ini, yang jelas-jelas berbeda dengan era para bekel, jogoboyo, raja memerintah hingga saat ini dimana masyarakat bebas terbuka dalam mengemukakan pendapat tanpa melihat berbagai status dan atribut yang ada pada orang lain ?
Apabila Jepang, mampu bergeser dari era feodalisme para warlord ke era modern dan berhasil bermetamorfosa berbasiskan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam kerangka kebudayaan dan struktur sosialnya. Apabila koloni Amerika Serikat pertama yang berjumlah 13 negara bagian melepaskan dari feodalisme Inggris dan kemudian melalui perjuangan dan pergulatan civil war. Apabila Jerman dengan karakteristik kedisiplinan dan kebanggannya sebaga ras Aria menjadi sebuah bangsa yang maju. Kira-kira RENAISCANCE apakah yang kita harapkan dari orang Jawa pada khususnya dan rakyat Nusantara pada umumnya dalam geliat jaman ? Apakah kita harus mengibarkan bendera putih ?
Beberapa teman spiritualis Jawa mengatakan, "pasrah saja kita sebagai suku Jawa dan bangsa Indonesia karena memang kita ditakdirkan sebagai kaum pertapa dan kawulo alit".
Namun, aku percaya dan yakin bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha untuk merubah nasibnya.....Bagi saya, bukankah kita semua adalah kawulo alit di hadapan Sang Khaliq ????
Ojo dadi godhong jati aking, yang kurang lebihnya nasihat Mangkunegoro ini bermakna, janganlah menjadi orang yang sia-sia dan menjadikan hidup ini sia-sia.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar